Tag Archives: baik

Terlambat

Aku benci dengan istilah “tidak ada kata terlambat” seperti yang didengungkan oleh kebanyakan orang. Bagiku, ada kata terlambat. Jika tidak ada, kenapa waktu dulu aku pernah dihukum berdiri di depan kelas bahkan aku tidak diizinkan untuk masuk sekolah ketika sampai di sekolah lebih dari pukul tujuh.

Bah… Aku katakan lagi, kata terlambat itu ada dan itu tidak sama dengan kata terlanjur. Terlanjur itu ibarat nasi telah menjadi bubur, tetapi terlambat ya terlambat saja. Bukan pula berarti aku tidak setuju dengan istilah “lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali”, justru sebaliknya aku setuju. Bagiku ada kata terlambat dalam segala hal dan beberapa dari segala hal itu menyisakan istilah “masih ada waktu” sebelum hal itu benar-benar berakhir.

Kini, batas itu telah muncul, tetapi aku dan kami tetap santai saja seolah-olah batas itu tidak pernah ada. Benci!


Pencerahan?

Salah kalau kemarin ada sahabat saya yang bilang saya lagi galau karena berturut-turut tulisan saya berhubungan dengan kisah asmara. Nah, kalau hari ini saya akui saya galau. Tidak ada ide menyenangkan untuk tulisan hari ini, justru yang muncul adalah pertanyaan-pertanyaan yang (mungkin) saya tahu jawabannya, tetapi saat dilaksanakan terbentur. Terbentur bukan hanya oleh ego tetapi juga oleh prinsip dan situasi.

Beberapa akhir ini, karena media, frasa “character assassination” menjadi terkenal walaupun tidak seheboh kata “sistemik”. Character assassination atau pembunuhan karakter menjadi topik yang seru karena yang dibunuh adalah karakter, sesuatu yang sangat sulit dicari. Ya… Kalau boleh bicara, mungkin terkesan dibesar-besarkan, saya merasa saya kehilangan karakter saya. Hal ini menyebabkan saya tidak tahu arah hidup saya, yang paling sulit saya hadapi adalah saya merasa kehilangan semangat hidup.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang saya alami adalah sebuah pembunuhan karakter. Kalau iya, siapa yang membunuh? Atau ini kasus bunuh diri? (sepertinya saya terlalu banyak membaca serial Detektif Conan). Salah satu yang masih membuat saya bingung, apakah benar saya adalah seorang yang tidak pernah serius, dalam ucapan dan tindakan, serta tidak dapat melihat dunia sekitar dengan kaca mata yang baik?

Menjawab pertanyaan terakhir mari ambil kasus dalam memberikan kritik. Menurut saya, kritik (dan saran) adalah sesuatu yang sangat penting untuk memberikan umpan balik. Setahu saya, banyak perusahaan mengeluarkan banyak uang hanya untuk mencari masukan. Permasalahannya adalah tidak semua pihak memberikan kesempatan secara terbuka untuk kritik, saya yakin Anda pernah masuk ke sebuah toko yang tidak memiliki kotak kritik dan saran.

Ketika kesempatan memberikan kritik tidak terbuka, tentu saja keinginan memberikan kritik tidak boleh dihilangkan begitu saja, cobalah membuat jalan, tentu saja dengan cara yang baik, misalnya membicarakannya dengan baik. Apakah masalah selesai? Dalam banyak kasus yang pernah saya alami, bicara dengan baik terkadang tidak cukup, butuh sedikit “sindiran” atau pekerjaan “bicara dengan baik” itu dilakukan berulang kali.

Sering kali “sindiran” memberikan dampak yang kurang menyenangkan tetapi “bicara dengan baik” yang dilakukan berulang kali memberikan dampak yang lebih buruk karena pemberi kritik akhirnya mendapatkan “cemooh” atau disebut terlalu mencampuri urusan orang lain. Lalu apa alasan saya tetap memberikan kritik sampai saya disebut orang yang pedas dalam berbicara, tidak peduli perasaan orang lain kalau akhirnya saya mendapatkan “cemooh”?

Toh kritik bukan masalah ada atau tidak yang mengkritik, tetapi bagaimana juga pihak yang dikritik dapat menerima. Walaupun dipengaruhi oleh bagaimana kritik diberikan, tetapi faktor utama penerimaan kritik adalah bagaimana pihak yang dikritik dapat berhati besar.Yang paling penting adalah penerima kritik tetap memegang keputusan akhir, apakah kritik itu akan diterima atau tidak.

Mari cermati pendapat yang dikemukakan oleh Corrie Ten Boom sebagai berikut,

Orang-orang yang melontarkan kritik bagi kita pada hakikatnya adalah pengawal jiwa kita, yang bekerja tanpa bayaran.

Akan tetapi Tyne Daly mengungkapkan hal yang bertolak belakang,

Tukang kritik adalah seseorang yang tidak pernah sungguh-sungguh berangkat ke medan perang tetapi belakangan muncul untuk menembaki mereka yang luka-luka.

Hal yang hampir senada diulas oleh Glenn Van Ekeren dalam bukunya “12 Rahasia kecil menju hidup bahagia” yang menuliskan bahwa

Dalam banyak hal, kritik adalah sebuah proses yang tidak berfaedah bahkan destruktif. Kritik memaksa orang bersikap defensif dan biasanya menyebabkan orang berusaha membenarkan tindakan-tindakan mereka.

Dalam ulasan itu, disebutkan adalah lima hal yang harus dilakukan sebelum memberikan kritik. Kelima hal itu adalah

  1. Tetap menjunjung harga diri seseorang,
    Beritahukan dahulu kepada yang bersangkutan betapa Anda sangat pedulu kepada mereka sebelum mengungkapkan informasi yang bersifat koreksi.
  2. Pusatkan perhatian pada kemampuan alih-alih pada kekurangan,
    Kritik akan jauh lebih mudah dicerna apabila didahului dengan penegasa tentang hal-hal yang sudah ada.
  3. Periksa lain motif Anda,
    Kritik sering merupakan sebuah upaya untuk menonjolkan konsep tentang diri sendiri dengan memperbandingkan kesalahan-kesalahan kita dengan kelemahan-kelemahan yang kita amati pada orang lain.
  4. Waspadai terus sikap Anda,
    Berhati-hatilah ntuk tidak menyalahkan orang lain atas kesusahan yang Anda rasakan.
  5. Tawarkan bantuan.
    Berikan saran yang menyiratkan kepedulian. Bicarakan harapan-harapan yang belum terpenuhi secara jujur dan obyektif. Berikan saran yang mendidik. Dorong orang untuk mengerjakan yang terbaik. Terimalah orang sebagaimana adanya.

Jika masih kurang jelas, saya menyarakan Anda untuk membaca buku tersebut (bagus kok bukunya, :D).

Kata-kata bijak dari Will Rogers akan mengiringi penutup tulisan ini,

Tidak ada yang lebih mudah daripada menyalahkan. Kita tidak usah bersusah payah untuk menemukan apa yang salah, tetapi perlu wawasan yang luas untuk memperbaiki keadaan akibat tindakan yang salah.

Kembali ke permasalahan pembunuhan karakter. Saya merasa dituduh (atau dikritik?) seperti yang diungkapkan oleh Tyne Daly, seseorang yang tidak pernah sungguh-sungguh serta tindakan mengkritik yang sering saya lakukan dilatarbelakangi karena saya tidak dapat melihat dunia sekitar dengan kaca mata yang baik. Kalau emang ini adalah kritik bagi saya, apakah yang memberikan kritik ini telah memperhatikan kelima hal yang disarakan oleh Glenn Van Ekeren atau memberikan wawasan agar saya dapat memperbaiki keadaan ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini masih menghantui saya, Apakah saya benar-benar seperti yang diungkapkan oleh Tyne Daly? Apakah saya tidak pernah memperhatikan kelima aspek yang disarankan oleh Glenn Van Ekeren? Atau mereka yang menuduh saya yang sebenarnya kurang cermat bahwa saya juga telah memberikan wawasan untuk memperbaiki keadaan bersamaan dengan terlontarnya kritik itu? Kenapa saya harus tetap mengkritik kalau itu sering membuat saya disakiti, toh saya tidak wajib menjadi pengawal jiwa siapapun? Apakah saya harus menahan keinginan untuk menjadi pengawal jiwa siapapun itu?

Sial, sudah satu semester pertanyaan ini tidak kunjung terjawab.


Yang Amat Baik

Nabi Isa sendiri berkata: Aku adalah Gembala Yang Baik, Soekarno berkata: Nabi Isa adalah Gembala Yang Amat Baik.

Kutipan Amanah Bung Karno
pada Pembukaan Sidang Raya Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI)
di Jakarta, tanggal 4 Mei 1964


Orang yang Sama

This person is the one who stole my happiness and gave me a new happiness

Kisah Yukishiro Tomoe dan Kenshin Himura dalam komik manga Samurai X (Rurouni Kenshin) karya  Nobuhiro Watsuki memang luar biasa. Bagi yang belum baca, disarankan untuk baca.

Biasanya orang yang mencuri (menghilangkan) kebahagian kita berarti orang yang kita benci. Kisah menyedihkan bila kita harus membenci orang yang kita cintai atau mencintai orang yang tidak kita sukai.

Tidak sedramatis kisah Tomoe dan Kenshi Himura, tetapi kisah ini cukup terasa aneh.

S : “Terus gimana dung caranya minta maaf ke Y?”

Q : “Pikirin aja sendiri. Eh, emang ngapain sih harus minta maaf, diemin aja. Lagian Q cuma disuruh kasih tahu aja, kalo kamu punya salah.”

S : “Iya, makasi udah kasih tahu. Tapi rasanya bener-bener merasa bersalah.”

Q : “Pengen gak bisa akrab kayak dulu lagi sama Y?”

S : “Ya iyalah, bagiku Y menarik kok. Tapi bukan berarti aku suka ya, ntar salah paham lagi ni.”

Q : “Suka juga gak pa-pa kok”

S : “Emang Y sebegitu bencinya ya?”

Q : “Ya gak tahu, tanya aja sendiri kalau berani. Eh, kamu tahu gak, menurut Y, siapa orang di kelas yang paling baik sama dia dan siapa orang di kelas yang paling menyebalkan buat dia?”

S : “Sepertinya yang paling menyebalkan di kelas ya aku. Kalau yang paling baik gak tahu deh.”

Q : “Ow… Yakin… Tenang aja, orang yang paling baik sama dia dan orang yang paling menyebalkan buat dia itu orang yang sama kok”